Pengertian
Ansos
Analisis
sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial
secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap
mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, structural dan
konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial,
mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi,
budaya dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial,
bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga
dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial
Ruang
lingkup ansos
Pada
dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks
transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan
dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan visi atau
misi organisasi. Secara umum objek sosial yang dapat di analisis antara lain;
Masalah-masalah
sosial, seperti; kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas
Sistemsosial
seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem pemerintahan, sitem pertanian
Lembaga-lembaga
sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan.
Kebijakan
public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.
Pentingnya
teori sosial
Teori dan
fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta
sosial, sementara fakta sosial akan mudah di analisis melalui teori-teori
sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan
konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan
dalam realitas empiris. Charles lemert
(1993) dalam Social Theory; The Multicultural And Classic Readings
menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk
bisa survive.
Teori
sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar
pada positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam
analisis sosial, pertama, analisis intitusional, yaitu ansos yang menekan
pada keterampilan dan kesetaraan actor yang memperlakukan institusi sebagai
sumber daya dan aturan yang di produksi terus-menerus. Kedua, analisis
perilaku strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai
sesuatu yang diproduksi secara sosial.
Langkah-Langkah
Ansos
Proses
analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain:
Memilih
dan menentukan objek analisis
Pemilihan
sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti
realitas yang dianalsis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan
sesuai dengan visi atau misi organisasi.
Pengumpulan
data atau informasi penunjang
Untuk
dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan
informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa,
kegiatan observasi maupun investigasi langsung dilapangan. Re-cek data
atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.
Identifikasi
dan analisis masalah
Merupaka
tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan
beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama
dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan
dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.
Mengembangkan
presepsi
Setelah di
identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah,
selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang
objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi
dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternative sebagai kerangka
tindak lanjut.
Menarik
kesimpulan
Pada tahap
ini telah diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah, pihak mana saja yang
terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara
politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk
proses perubahan sosial.
Peranan
Ansos Dalam Strategi Gerakan PMII
Ingat,
paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut peka
dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis), sekaligus terlibat
aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif). Transformasi sosial
yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki
kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul
apabila dilandasi dengan cara pandangan luas terhadap realitas sosial. Untuk
dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan kemampuan
analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma
kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang
dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).
REKAYASA SOSIAL
prolog: sebuah kasus awal
Mulanya biasa saja. Sebuah masyarakat di daerah terpencil
pinggiran hutan di Kalimantan adalah
komunitas adat yang setia terhadap warisan tradisi leluhur. Pemahaman
mereka atas hutan, pohon dan tanah masih bersifat sakral dan berdimensikan
transendental. Tapi sejak upaya modernisasi dari negara melalui proyek
pembangunan dengan program transmigrasi, pengembangan kawasan desa hutan,
pariwisata, dan apapun namanya, daerah tersebut mulai terbuka bagi masuknya
arus masyarakat dari luar komunitas adat, tak terkecuali masuknya Media
Televisi melalui antena parabola.
Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai terlihat
dengan persentuhan dengan masyarakat luar yang juga membawa serta bentuk-bentuk
kebudayaan; dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja, masuknya
televisi telah mampu merubah berbagai sistem nilai dan sistem makna yang
terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum ada modernisasi (dan televisi)
masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu bersosialisasi,
berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika televisi baru memasuki desa dan
jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru menjadi sarana yang memperkuat
kebersamaan, karena tetangga yang belum mempunyai televisi boleh menumpang
menonton. Namun ketika televisi semakin banyak dan hampir tiap keluarga
memilikinya, maka kebersamaan itu segera berkahir, karena masing-masing
keluarga melewatkan acara malam mereka di depan pesawatnya.
Tanpa disadari media telivisi telah merubah segalanya
dalam struktur maupun kultur masyarakat tersebut. Peristiwa itu meminjam
istilah Ignas Kleden[1][1]
menunjukkan bahwa nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme) dan tingkah
laku (berkumpul atau bersendiri), secara langsung dipengaruhi oleh hadirnya
sebuah benda materiil. Parahnya, pola kehidupan yang menghargai kebersamaan
beralih menjadi individualis, sifat gotong royong tergantikan sifat pragmatisme
dalam memaknai segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya ketika
memaknai tanah warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang lebih dimaknai
bersifat ekonomis belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati-matian membela
tanah warisnya, sekarang tergantikan kepentingan ekonomis untuk dijual kepada
pengusaha dari kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-cafe dan
apapun namanya mulai bermunculan di masyarakat terpencil tersebut. Lambat laun,
masyarakat tersebut sudah berubah citranya secara fundamental sebagai
masyarakat adat dengan kearifan lokalnya menjadi masyarakat ’pinggiran’
berwajah metropolitan dengan segenap perubahan yang ada. Sayangnya, yang
diuntungkan dalam kondisi masyarakat yang demikian ternyata tidak merata.
Bahkan hampir sebagian besar masyarakat tetap menjadi ’penonton’ dalam
perubahan struktur maupun kultur yang terjadi.
Dalam kondisi yang demikian, apa yang seharusnya
dilakukan? Membiarkan berada dalam situasi ketidakmenentuan, sehingga
masyarakat adat kian tersisihkan atau tergerus oleh kepentingan
ekonomis-pragmatis atau ikut serta terlibat merancang sebuah strategi perubahan
sosial agar perubahan masyarakat tersebut dapat direncanakan?
Perubahan Sosial: awal dari rekayasas sosial
Prolog ini merupakan catatan awal untuk memberikan suatu
preskripsi bahwa perubahan sosial merupakan keniscayaan yang menimpa suatu
masyarakat, seberapapun dia tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan
sosial tersebut dirancang dengan perencanaan, sehingga yang muncul dalam
masyarakat yang berada dalam order (tatanannya); meskipun didalamnay
berkelindan berbagai perubahan. Artinya; tiada masyarakat yang dapat steril
dari perubahan sosial. Justru perubahan sosial memberikan suatu bukti
terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut. Tanpa perubahan sosial,
masyarakat tersebut adalah masyarakat yang ’mati’, stagnan, tanpa dinamika.
Terdapat dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama,
perubahan sosial yang tidak terencana (unplanned social change).
Perubahan social yang terjadi terus menerus yang terjadi secara perlahan yang
tanpa direncanakan yang biasanya diakibatkan oleh teknologi dan globalisasi.
Perubahan dalam contoh di atas adalah salah satu bentuk adanya perubahan yang
tidak disadari dengan hadirnya kebudayaan materiil, yakni televise. Kedua,
perubahan social yang terencana (planned social change); yakni sebuah
perubahan social yang didesain serta ditetapkan strategi dan tujuannya[1][2].
Nah, dalam kasus perubahan social di desa adapt tersebut di atas juga terjadi
akibat sebuah desain matang (rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui
proyek modernisasi yang berbalut ideologi pembangunanisme (developmentalisme).
Lalu apa sesungguhnya perubahan social tersebut.
Perubahan social adalah proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
suatu sistem sosial[1][3].
Sementara Suparlan[1][4]
menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan
pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup; sistem status,
hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, serta
persebaran penduduk. Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting perubahan
sosial, yakni (1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2) proses
perubahan, dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan itu[1][5].
Menurut Jalaluddin Rahmat[1][6],
ada beberapa penyebab terjadinya perubahan sosial. (1) bahwa masyarakat
berubaha karena ideas; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai.
Max Weber adalah salah satu tokoh yang percaya bahwa ideas
merupakan penyebab utama terjadinya perubahan sosial. Hal ini dia perlihatkan
dalam menganalisis perubahan sosial dalam masyarakat Eropa dengan semangat etik
protestanismenya sehingga memunculkan spirit kapitalisme. Diakui oleh Weber
bahwa ideologi ternyata berpengaruh bagi
perkembangan dalam masyarakat. (2) yang mempengaruhi terjadinya perubahan dalam
masyarakat juga terjadi dengan adanya tokoh-tokoh besar (the great
individuals) yang seringkali disebut sebagai heroes (pahlawan), dan
(3) perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya social movement
(gerakan sosial). Yakni sebuah gerakan yang digalang sebagai aksi sosial,
utamanya oleh LSM/NGO, yayasan, organisasi sosial, dsb serta
Lebih lanjut Kang Jalal[1][7]
menyebut bahwa dalam perubahan sosial dibutuhkan berbagai strategi yang
selayaknya dilakukan melalui berbagai cara, tergantung analisis situasi atas
problem sosial yang ada. (1) strategi
normative-reeducative (normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat
dari norm (norma) yang berarti atuiran-aturan yang berlaku dalam
masyarakat. Norma tersebut termasyarakatkan lewat education, sehingga
strategi normatif digandengkan denagn upaya reeducation (pendidikan
ulan) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat lama dengan
yang baru[1][8].
Cara atau taktik yang dilakukan adalah dengan mendidik, bukan sekedar mengubah
perilaku yang tampak melainkan juga mengubah keyakinan dan nilai sasaran
perubahan, (2) persuasive strategy (strategi persuasif). Strategi
perubahan yang dilakukan melalui penggalangan opini dan pandangan masyarakat
yang utamanya dilakukan melalui media massa dan propaganda. Cara yang dilakukan
adalah dengan membujuk atau mempengaruhi lewat suatu bentuk propaganda ide atau
hegemoni ide.(3) perubahan sosial terjadi karena revolusi atau people’s
power. Revolusi dianggap sebagai puncak (jalan terakhir) dari semua bentuk
perubahan sosial, karena ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial, dan
mengudang gejolak dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.
Rekayasa sosial: gagasan konseptual
Berangkat dari realitas bahwa perubahan sosial tidak
dapat dicegah sebagai sebuah keniscayaan sejarah, baik direncanakan maupun
tidak direncanakan, tulisan ini berupaya lebih dilokalisir untuk mewacanakan
perubahan sosial dengan perencanaan atau desain perubahan sosial. Istilah
populernya adalah rekayasa sosial.
Istilah "rekayasa sosial (social engineering)"
seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan untuk menunjuk
perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual, istilah "rekayasa
sosial" adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna upaya
mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang diperoleh dari perubahan
tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep rekayasa sosial, dengan
demikian, menunjuk pada suatu upaya mendesain atau mengkondisikan terjadinya
perubahan struktur dan kultur masyarakat secara terencana. Rekayasa sosial (social
engineering) adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan
masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan berbudaya. Dalam prinsip berpikir sistem,
perubahan yang signifikan hanya dapat dilakukan oleh individu dan masyarakat
itu sendiri, bukan menunggu peran struktur saja. Untuk membentuk struktur yang
kuat, diperlukan elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari
individu dan komunitas yang sadar/belajar secara terus menerus (the lifelong
learner). Komunitas ini dapat dirancang dengan menggunakan pendekatan dan
penerapan beberapa prinsip organisasi pembelajaran (learning organisation)
dan berpikir sistem (system thinking) yang dirajut dan dikonstruksi
dalam konsep dan metode pembelajaran primer.
Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur Sosial hingga Aksi
Sosial
Pada dasarnya rekayasa sosial hanya dapat diselenggarakan
kepada masyarakat yang didalamnya
terdapat sejumlah problem (sosial). Problem-problem sosial tersebut
memberikan dampak bagi perjalanan panjang (dinamika) dalam masyarakat. Tapa ada problem sosial, tidak akan ada orang
berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Artinya, problem sosial menjadi
faktor utama untuk segera diatas dalam melakukan rekayasa sosial.
Problem sosial biasanya muncul akibat terjadinya
kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat (das sollen)
dengan kondisi yang sebenarnya terjadi (das sein). Misalnya; awalnya
masyarakat berharap agar arus lalu lintas di Metropolitan Surabaya berjalan
aman, tertib dan lancar. Semua pengguna jalan raya berjalan dengan mentaati
aturan yang berlaku, ada atau tidak ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan
oleh masyarakat bertolak belakang dengan realitas yang terjadi. Betapa banyak
pelanggaran lalu lintas terjadi akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan.
Akibatnya terjadi perbedaan antara yang ideal dengan realitas. Kesenjangan
tersebut merupakan suatu problem sosial yang mesti segera di atasi. Itulah
sebabnya, dibuatlah sebuah skenario (strategi) sebagai bagian rekayasa sosial
melalui kampanye safety riding[1][9].
Dengan demikian, dalam melakukan rekayasa sosial,
analisis atas situasi (problem sosial) dalam masyarakat tidak boleh
ditinggalkan. Sebab, bisa jadi tanpa analisis situasi ini sebuah rekayasa
sosial akan mengalami kegagalan. Ibarat sebuah adagium salah di tingkat hulu
akan berakhir fatal di tingkat hilir. Salah dalam membaca sebab musabab
sehingga terlahir problem sosial akan berakibat kesalahan dalam menentukan
rekayasa sosial yang dijalankannya. Tanpa pembicaraan mengenai problem sosial
ini, alih-alih melakukan rekayasa sosial untuk menyelesaikan problem sosial,
kita mungkin malah menambah panjang munculnya problem sosial baru. Dalam melakukan pemecahan atas
problem sosial ada kalanya memang dituntut aksi sosial (aksi kolektif) yakni
tindakan kolektif (bersama) untuk mengatasi problem sosial, sehingga perubahan
sosial bisa digerakkan bersama sesuai dengan keinginan bersama.
Philip Kotler[1][10]
memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi sosial yang dapat dilakukan
dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause (sebab), yakni upaya atau
tujuan sosial –yang dipercayai oleh pelaku perubahan- dapat memberikan jawaban
pada problem sosial, (2) change agency (pelaku perubahan), yakni
organisasi yang misi
utamanya memajukan sebab sosial, (3) Change target (sasaran perubahan);
individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya
perubahan, (4) Channel (saluran); media untuk menyampaikan pengaruh
dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan, dan (5) Change
strategy (strategi perubahan); teknik utama untuk mempengaruhi yang
diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran
perubahan.
Sebagai catatan tambahan, dalam melakukan rekayasa sosial –hal lazim yang marak digunakan oleh
LSM/NGO atau organisasi sosial- adalah melakukan analisis situasi dengan
pendekatan analisis SWOT; yakni Streght (kekuatan), Weakness
(kelemahan), Oppurtunity (peluang) dan Treath (ancaman). Analisis
ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar kemampuan atau potensi kita dalam
melakukan rekayasa sosial. Melalui analisa ini, minimal kita dapat menentukan
bentuk-bentuk rekayasa sosial yang hendak dijalankan. Namun demikian, ada
berbagai pendekatan dalam melakukan rekayasa sosial –tergantung
dari- gaya dan prototipe masing-masing pelaku perubahan sosial sekaligus
masyarakat yang akan dirancang perubahan sosialnya.
Epilog [1][11]
Namun demikian dalam melakukan rekayasa sosial harus dihindarkan berbagai
bentuk kesalahan (asumsi) yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir (fallacy).
Artinya, harus dicermati dan diwaspadai juga, bahwa dalam masyarakat yang
hendak dirancang rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya berbagai
bentuk pola pikir yang dapat mengganggu jalannya rekayasa sosial. Misalnya, fallacy
of dramatic instance (kecenderungan untuk melakukan over generalisasi),
fallacy of Retrospektif Determinisme (kecenderungan yang menganggap bahwa
masalah sosial yang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu
ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup
panjang), argumentum ad populum (kecenderungan untuk menganggap bahwa
pendapat kebanyakan masyarakat sebagai kebenaran), dsb.
Rekayasa sosial akan mendapat tantangan bisa jadi bukan berasal dari pihak
luar atau kelompok sosial di luar, tetapi justru dalam masyarakat yang hendak
dirancang perubahan sosial; masyarakat yang menjadi korban dari kelompok
kepentingan. Dus, tanpa perencanaan yang matang bisa jadi bukan
keberhasilan yang diperoleh justru kitalah menjadi penyebab kian melembaganya
problem sosial.
Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar