Minggu, 17 Mei 2015

Alasan Suharto Menjadikan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila


Mengapa Suharto Menjadikan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila?
Hari Kesaktian Pancasila dilahirkan oleh Jenderal Suharto dalam rangka melakukan kup merangkak terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Sedangkan Pancasila dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945 dengan Bung Karno sebagai penggalinya. Padahal sang penggali sendiri tidak pernah menjadikannya sebagai pusaka yang sakti, sehingga menjadi sesuatu yang lahir secara wajar dan sesuai dengan keadaan obyektif pada waktu itu. Tetapi dalam perkembangannya kemudian selama pemerintahan Bung Karno, Pancasila senantiasa diterima oleh bangsa Indonesia sebagai dasar berbangsa dan bernegara, dan dengan dasar Pancasila jugalah kemudian rongrongan-rongrongan  dan pemberontakan kaum reaksioner DI/TII, PRRI/Permesta dan tindakan mereka yang membentuk Dewan Gajah, Dewan Banteng dlsb. kemudian bisa dihancurkan dengan dukungan Rakyat.
Oleh karena Pancasila itu diterima dan didukung oleh Rakyat, walaupun diantara para pendukung Pancasila itu sendiri belum tentu bisa memahaminya secara jelas, namun kepercayaan atau kecintaan Rakyat terhadap Pancasila dan penggalinya (Bung Karno) telah sangat melekat. Hal inilah yang kemudian dimanipulasi oleh Jenderal Suharto dan jenderal-jenderal Angkatan Darat lainnya untuk mengkhianati dan menghancurkan Pancasila dan penggalinya sekaligus.
Tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, yaitu hari yang sesungguhnya ketika apa yang menamakan dirinya Gerakan Tigapuluh September atau G30S itu bergerak, setelah salah seorang pelakunya yang juga merupakan orang terdekat jenderal Suharto yaitu Kolonel Latif melaporkan rencananya kepada Suharto yang sedang menunggu anaknya bernama Tommy Suharto di rumah sakit Gatot Subroto.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu jugalah Jenderal Suharto memimpin appel di KOSTRAD terhadap militer dari beberapa batalyon (530, 524 dan 328) yang tersebar di Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan. Ketika mereka didatangkan ke Jakarta dengan pasukan siap tempur atas perintah radiogram Pangkostrad Mayjen Suharto dengan alasan dalam rangka memperingati hari ABRI 5 Oktober 1965.
Saya jadi teringat pada hari-hari sebelum terjadinya G30S, ketika pasukan dari Batalyon 530 yang dipimpin oleh Bambang Supeno, Rakyat di Jakarta Barat sangat senang menerima kehadiran mereka yang menumpang di rumah-rumah Rakyat. Mereka ikut kerja bakti social memperbaiki jalan dan kampong-kampung bersama-sama Rakyat.
Tetapi kemudian Rakyat menjadi ketakutan dan tidak menyukai mereka, karena pada tanggal 30 September 1965 tengah malam (lewat jam 24.00), mereka menghilang tanpa diketahui oleh Rakyat. Sehingga ada Rakyat yang menggerundel : “datang sebagai tamu dengan sopan dan baik-baik, tapi pergi seperti pencuri, tanpa pamit”.  Ternyata, kepergian mereka semua adalah mengikuti appel di KOSTRAD dibawah pimpinan Suharto.
Pada tanggal 1 Oktober itulah sebagai awal Suharto mulai melakukan tindakan-tindakan sendiri tanpa melakukan koordinasi baik terhadap PANGAD, A. Yani maupun dengan Bung Karno seaku Panglima Tertinggi ABRI mengenai adanya laporan dari Kol. Latief. Demikian juga pembangkangan-pembangkangan selanjutnya terhadap Presiden/Pangti ABRI Sukarno tentang pengangkatan Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai Panglima Angkatan Darat.
Selanjutnya Suharto melakukan ofensif melalui kampanye “akan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen”. Sesumbar itu tidak lain adalah dalam rangka mendiskreditkan Bung Karno, agar terkesan pemerintahan presiden Soekarno tidak melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen. Dengan menggunakan atasnama Pancasila itu ternyat Suharto mendapatkan simpatik dan dukungan dari golongan anti komunis dan anti Soekarno, serta Rakyat yang belum memahami Pancasila dalam arti sebenarnya.
Berangkat dari situlah dan dengan memanipulasi Pancasila itulah kemudian Suharto berhasil melakukan siasat dan tipu muslihatnya, sehingga dapat melakukan pembantaian besar-besaran serta melakukan penangkapan, penyiksaan dan pembuangan terhadap puluhan ribu Rakyat yang tidak berdosa.
Dengan memanipulasi Pancasila itulah kemudian Suharto berhasil melakukan kup merangkak menggulingkan pemerintahan presiden Soekarno dan kemudian mendirikan orde baru yang jadi proyek dan dukungan sepenuhnya dari imperialis yang berkomplot di dalam IGGI. Maka setelah dia berhasil menjadi penguasa tertinggi di Republik Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai negeri dan masyarakat jajahan model baru (Nekolim), Suharto menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal terhadap partai politik dan organisasi-organisasi.
Dengan demikian, Suharto berhasil menjadikan Pancasila sebagai alat untuk memenuhi seluruh ambisi dan kerakusannya, dijadikanlah 1 Oktober sebagai Hari “Kesatian” Pancasila.
(nurman)




Berkaitan dengan 1965 Incident Road Show in the United States, ada satu peristiwa monumental yang bagiku tidak bisa begitu saja ditelan dan diterima secara bulat-bulat. Peristiwa ini masih berjalan sampai sekarang, yaitu upacara nasional pada tanggal 1 Oktober pagi di Lubang Buaya, Jakarta yang oleh pemerintahan Orde Baru, di bawah pimpinan Suharto/Soeharto, diberi nama Hari Kebangkitan Pancasila. Kemudian upacara ritual ini dilajutkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kita semua tahu dari pelajaran sekolah apa sebabnya diberi nama Hari Kesaktian Pancasila, yaitu telah terbukti bahwa Pancasila itu ampuh.
Ampuh dan berhasil menghalau dan menumpas komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari muka bumi Indonesia dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran pada percobaan kudeta PKI tahun 1965. Benarkah demikian? Apakah arti sesunggunya di balik peringatan ini?

Setiap tanggal 1 Oktober pagi, hampir semua pejabat kunci negara Republik Indonesia (RI) berkumpul di Lubang Buaya, Jakarta untuk mengadakan ritual, memperbaharui dan mengkokohkan tekat untuk melindungi negara RI dari rongrongan komunis melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Upacara ritual ini disimbolkan dengan pengorbanan nyawa yang sangat memilukan dan menyayat hati dari 6 jenderal senior dan lainnya. Dikabarkan bahwa para korban ini disayat-sayat dengan silet, mata mereka dicungkil dan kelaminnya dipotong. Hal ini dibantah oleh Soekarno.

Upacara ritual seperti ini mengingatkan aku akan adegan sembayang ritual dalam satu film laga Hongkong. Seingatku, dalam adegan itu, para guru dan murid melukai tangan mereka, meneteskan darahnya di dalam satu panci arak, diminum secara bergantian dengan khidmat dan penuh kegeraman sambil bersumpah dengan sengit akan menjaga dan menjunjung nama baik, persatuan dan keutuhan perguruan mereka. Meraka juga bersumpah akan mengusir dan membalas dendam kalau perlu dengan cara membunuh para musuh dan mantan musuh para leluhur mereka sampai ke akar-akarnya.

Peringatan Hari Kesaktian Pascasila ini bercikal bakal pada peristiwa 30 September 1965, di mana enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang dilakukan oleh para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah :
  • Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
  • Mayjen TNI R. Suprapto
  • Mayjen TNI M.T. Haryono
  • Mayjen TNI Siswondo Parman
  • Brigjen TNI DI Panjaitan
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo

Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
  • AIP Karel Satsuit Tubun
  • Brigjen Katamso Darmokusumo
  • Kolonel Sugiono

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965 (http://id.wikipedia.org).

Setelah peristiwa percobaan kudeta ini, menyusul pembantaian yang dipimpin oleh Soeharto terhadap para pengikut atau orang yang dianggap berhubungan dengan PKI. Diperkirakan paling tidak 1 juta orang tewas dan ratusan ribu orang dipenjara atau ditahan di camp konsentrasi tanpa melalui pengadilan dan perlawanan. Majalah Time pada saat itu menggambarkan,
“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.”


Menjelang dan pada tahun 1965, PKI merupakan partai komunis terbesar setelah partai komunis di Republik Rakyat Cina (RRC) dan Rusia. Walaupun DN Aidit, pemimpin partai pada saat itu selalu menyerukan untuk kerja sama dengan militer dan polisi, serta menolak sistem penerapan komunisme dari RRC dan Rusia, PKI tetap menjadi dan dianggap sebagai ancaman bagi militer. Anggapan ini diperkuat dengan propaganda pemikiran Soekarno tentang Nasionalisme, Agama dan Komonisme (Nasakom) dan dukungannya untuk mempersenjatai angkatan ke lima yang terdiri dari buruh dan petani, selain Angkatan Militer dari Darat, Laut, Udara dan Polisi. Angkatan kelima, yang merupakan usulan PKI, diadakan karena situasi politik yang penuh gejolak dan seruan revolusioner dari Presiden Soekarno serta banyaknya konflik seperti Irian Barat (Trikora) dan Ganyang Malaysia (Dwikora) yang membutuhkan banyak sukarelawan-sukarelawan. Hal ini menambah kegusaran dikalangan pimpinan militer khususnya Angkatan Darat. Khawatir unsur ini digunakan oleh PKI untuk merebut kekuasaan, meniru pengalaman dari revolusi baik dari Rusia maupun RRC (http://id.wikipedia.org dan Benedict R. Anderson dan Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, 1971).

Akhirnya, percobaan kudeta oleh Kolonel Untung inilah yang dijadikan momentum dan alat pemukul oleh militer angkatan darat di bawah pimpinan Soeharto untuk menumpas rival politik mereka, yaitu PKI yang selanjutnya membawa ia ke tatah kekuasaan selama 32 tahun.

Kembali ke pertanyaan tentang esensi peringatan Hari Kesaktian Pancasila di atas. Sebagai jawaban, agaknya peringatan dan upacara ritual ini lebih tepat berupa konfirmasi atas ketekatan sekelompok orang untuk menumpas dan membunuh berapun banyaknya orang demi merebut kekuasaan dan sekarang terbukti cenderung untuk kepentingan sekelompak orang.

Ternyata, latarbelakang dan akibat peristiwa yang diperingati oleh petinggi negara kita di Lubang Buaya jauh lebih mengerikan dan sadis dibandingkan adegan peringatan ritual film laga Hongkong di atas.
Dari segi kemanusiaan, bukankan peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini mestinya menitikberatkan pada penyesalan dan keprihatinan atas jutaan nyawa rakyat Indonesia yang melayang karena ulah seorang yang bernama Soeharto?



Catatan :
Beni Bevly holds BA in Political Science, MBA in Marketing, and is a DBA (Doctor of Business Administration) candidate. He is the founder of Overseas Think Tank for Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar