Pendahuluan
Krisis moneter bangsa Indonesia menimbulkan catatan sejarah barua
bangsa Indonesia khususnya menyangkut gerakan mahasiswa yang begitu progresif
dan melebur dengan masyarakat menuntut perbaikan nasib jutaan rakyat Indonesia.
Sejarah ini ditorehkan oleh kalangan generasi muda, khususnya gerakan
mahasiswa, melalui peristiwa yang dikenal sebagai era reformasi. Sebuah era baru, setelah jatuhnya rezim
otoriter Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Jenderal Besar Soeharto oleh
kekuatan rakyat (people power) melalui peristiwa yang kita kenal dengan
"Tragedi Mei 1998". Demontrasi mahasiswa pada saat itu selalu mejadi
legenda dan sejarah perjuangan mahasiwa sebagai katalisator dalam menjatuhkan
regim Soeharto.
Kondisi saat itu tentu berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Saat ini, berbagai demontrasi mahasiswa sudah
tidak mendapat respek lagi dari masyarakat.
Apa yang selama ini dilakukan dengan turun ke jalan bila hanya dilakukan
oleh pihak mahasiwa sendiri tidak lebih disebut sebagai "pawai",
karnaval", atau "arak-arakan" belaka. Dan malah lebih berkesan
hura-hura jika aksi mereka tidak murni ide mahasiswa. “Demontrasi titipan”
demikian yang menjadi stigma masyarakat terhadap gerakan mahasiswa Indonesia
saat ini. Dan bila mahasiswa turun jalan membawa aspirasi murni hati nurani
rakyat serta berlatar belakang ide mahasiswa sendiri tanpa ditunggangi, tanpa
titipan-titipan maka turun jalan demikian dapat dikatakan sebagai "unjuk
rasa". Tetapi apakah ini masih ada mengingat sikap dan keberpihakan
terhadap kaum tertindas telah dikooptasi oleh situasi praktis yang sedang
berkembang yang kurang menguntungkan nasib bangsa kita sendiri.
Dengan demikian strategi yang mesti dilakukan oleh mahasiswa jika
memang
mereka berani dalam membela kebenaran adalah bersikap dialogis terhadap
pemerintah, introspeksi tentang niat kemurnian gerakan, dan tanggap
benar dengan rakyat. Untuk itu, format gerakan mahasiswa harus tanpa kekerasan dan berwajah damai, namun tegas dan lugas dalam menyampaikan aspirasi rakyat sesuai yang dibutuhkan rakyat bukan menjadi rakyat semakin pusing melihat kelakuan mahasiswa.
mereka berani dalam membela kebenaran adalah bersikap dialogis terhadap
pemerintah, introspeksi tentang niat kemurnian gerakan, dan tanggap
benar dengan rakyat. Untuk itu, format gerakan mahasiswa harus tanpa kekerasan dan berwajah damai, namun tegas dan lugas dalam menyampaikan aspirasi rakyat sesuai yang dibutuhkan rakyat bukan menjadi rakyat semakin pusing melihat kelakuan mahasiswa.
Memudarnya Gerakan Mahasiswa
Indonesia
Sejarah pergerakan mahasiswa dengan
pemerintah dan elite politik sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1966,
misalnya, mahasiswa secara lantang menyuarakan isu Tritura. Kemudian tahun 1970
mahasiswa melakukan aksi menentang kenaikan harga minyak serta budaya korupsi
di tubuh pemerintahan. Selanjutnya, mahasiswa juga kencang menggugat berbagai
persoalan yang dinilai sepihak, tidak adil, dan tidak demokratis seperti
Peristiwa Malari (1974), kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa (1978), asas
tunggal Pancasila (1984), dan SDSB (1988).
Berbeda dengan partai poltik yang berorientasi kekuasaan, gerakan
mahasiswa memperjuangkan nilai-nilai (values) yang berkaitan dengan
kehidupan manusia. Gerakan mahasiswa adalah seperangkat kegiatan mahasiswa yang
bergerak menentang dan mempersoalkan realitas objektif yang dianggap
bertentangan dengan realitas subjektif mereka. Hal itu termanifestasikan
melalui aksi-aksi politik dari yang bersifat lunak hingga sangat keras seperti
penyebaran poster, tulisan di media massa, diskusi-diskusi politik, lobi,
dialog, petisi, mogok makan, mimbar bebas, pawai di kampus, mengunjungi lembaga
kenegaraan, turun ke jalan secara massal, perebutan dan pendudukan
fasilitas-fasilitas strategis seperti lembaga kenegaraan, stasiun radio serta
televisi, dan lain-lain.
Mahasiswa mengambil pilihan itu karena
merasakan dan memahami bahwa ada nilai-nilai yang "suci" atau
"ideal" dan bahkan "universial" yang mengalami ancaman
khususnya karena kebijakan pemerintah. Mahasiswa berdemonstrasi karena
menemukan banyak gejala atau praktik yang hendak menggusur dan bahkan membunuh
nilai-nilai tersebut. Vijay Sathe dalam Culture and
Related Corporate Realities (1958) mendefinisikan nilai sebagai basic
assumption about what ideals are desirable or worth striving for. Ungkapan
"worth striving for" menunjukkan bahwa pada suatu saat manusia
rela mengorbankan nyawanya untuk mengejar sesuatu nilai.
Hal tersebut yang saat ini mulai tergerus dalam perjalanan jaman dalam
pergulatan gerakan mahasiswa di Indoensia.
Gerakan mahasiswa ternyata ikut larut juga dalam kondisi sosial budaya
masyarakat kita, dimana budaya hedonisme dan konsumerisme yang demikian
tinggi. Arah gerakan mahasiswa sudah
tidak lagi berbicara konteks memperjuangkan kepentingan masyarakat tertindas
baik dari penghisapan bangsa sendiri dan bangsa asing. Tetapi lebih berbicara
apa yang dapat diuntungkan dari situasi yang sulit ini. Degradasi inilah yang menyebabkan kemrosotan
pola pikir dan daya intelektual mahasiswa.
Mahasiswa sudah banyak berkurang tentang ide-ide cemerlang terhadap
nasib bangsa apalagi tentang kerelaan untuk mengorbankan nyawa demi tegaknya nilai-nilai
ideal. Padahal mahasiswa harusnya berjiwa idealis, progresive, militan, dan
revolusioner untuk mempertanyakan segala hal dari yang bersifat pinggiran ke
masalah yang bersifat asasi sekaligus melakukan perubahan-perubahan yang
dicita-citakannya. Dalam dunia gerakan mahasiswa sudah tidak bisa lagi bertumpu
pada hanya sekedar reorika semata. Gerakan mahasiswa.
Kesediaan untuk berkorban demi tegaknya nilai-nilai yang dianggap ideal
adalah investasi utama bagi lahirnya radikalisme mahasiswa. Namun seringkali
idealisme dan radikalisme gerakan mahasiswa tidak diiringi dengan
kalkulasi-kalkulasi yang strategis dan taktis. Gerakan mahasiswa sering
berjalan terlalu berani namun terlalu lurus tanpa perhitungan yang matang.
Akibatnya, gerakan mahasiswa mudah sekali dibaca, dikendalikan, dan akhirnya
dimanfaatkan gerakan kelompok kepentingan.
Dalam konteks gerakan mahasiswa seharusnya tidak
berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rezim saja, tetapi juga
harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan ini tidaklah mungkin
bagi mahasiswa untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Mengenai cara atau metode
untuk mendapatkan kekuasaan ini, mahasiswa harus mampu membangun gerakan
ekstraparlementer lewat mobilisasi massa dan gerakan intraparlementer dengan
masuk ke kancah politik formal. Oleh karena itu, sebagian gerakan mahasiswa
harus mendirikan partai-partai politik.
Secara rasional maupun konseptual, adanya gagasan atau keinginan agar
mahasiswa lebih berani dalam bermain politik, sesungguhnya tidaklah berlebihan.
Mahasiswa sebagai salah satu pilar civil society yang terdidik, secara
tradisional memiliki tanggung jawab moral untuk membawa masyarakat ke alam
kehidupan yang lebih baik dan demokratis. Secara rasional tidak bisa dipungkiri
bahwa mahasiswa adalah penerjemah dan pencari solusi atas merebaknya
kegelisahan sosial.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ketika kaum
intelektual sudah mulai terjun langsung ke dalam dunia politik praktis, akankah
para mahasiswa mengikuti jejak senior mereka? Lantas, kepada siapa rakyat akan
mempercayakan mandat dan aspirasinya? Padahal kalau kita simak kembali lembaran
sejarah, gerakan mahasiswa itu sebenarnya tidak pernah mempunyai tujuan-tujuan
politik praktis, sebagaimana gerakan-gerakan sosial pada abad ke-17 hingga 19.
Gerakan mahasiswa sifatnya hanya berupa aktivitas atau reaksi-reaksi spontan
dan sporadis yang bertujuan hendak mewujudkan atau menolak suatu perubahan,
keadaan sosial atau tatanan politik tertentu. Gerakan mahasiswa selalu dan
hanya lahir pada saat-saat di mana terdapat fenomena social anomie atau social
disorder. Manakala tertib sosial dan harmoni telah terbangun, dengan sendirinya
mereka akan kembali menekuni dunia keilmuan (backtocampus).
Paradigma Gerakan Mahasiswa
Indonesia
Terkait dengan gerakan mahasiswa ada dua pendekatan atau paradigma yang
mengemuka sejak munculnya gerakan kaum terpelajar yaitu gerakan politik atau
gerakan moral. Kedua pendekatan ini yang
selalu mewarnai gerakan mahasiswa di Indonesia di luar mahasiswa-mahasiswa yang
larus dalam dunia pragmatis. Berbagai
upaya untuk mendekatkan mahasiswa dengan masyarakat dilakukan baik melalui pola
pemberdayaan masyarakat melalui LSM ataupun kelompok-kelompok studi. Sementara itu, gerakan mahasiswa yang lebih
cenderung ke arah politik lebih suka bermain di dataran elite partai maupu
kekauasaan. Hal ini yang seringkali meninbulkan persinggungan
gerakan mahasiswa di Indonesia. Contoh yang paling mudah adalah pasca jatuhnya
regim Soeharto maka gerakan mahasiswa terpolarisasi dalam berbagai gerakan,
baik itu yang moralistik dengan mengedpankan intelektual maupun gerakan politik
dengan terlibat dalam partai politik.
Bahkan saat ini muncul gerakan mahasiswa yang hanya berdasarkan
orde. Tentu kelompok yang terakhir ini
sangat memprihatinkan kita semua baik itu yang lebih menggunkan pendekatan
politik maupun moral.
Terlepas dari itu semua, gerakan mahasiswa
sudah tidak bisa lagi hanya berdasarkan pendekatan moral dan intelektual semata
atuapun pendekatan politik. Keduanyta
harus sinergi sebagai upaya mencapai atau meraih apa yang mejadi cita-cita
moral mahasiswa. Untuk itu gerakan
mahasiswa harusnya merupakan gerakanmoral politik. Mahasiswa tidak bisa lagi dikungkung dalam
kampus semata dan bergulat dengan bidang keilmuwannya semata, mahasiswa harus
selalu peduli dan kritis terhadap setiap permasalahan yang ada di bangsa
kita. Jika mahasiswa masih terpola
dengan cara-cara lam maka gerakan mahasiswa akan semakin tertinggal baik oleh para pragmatis
yang selalu mencari keuntungan maupun kelompok-kelompok yang memiliki tujuan
menghancurkan bangsa Indonesia.
Untuk itu, mahasiswa tidak bisa lagi
mengandalkan tuntutan perjuangan semata dengan melupakan tanggung jawab sebai
seorang intelektual. Kemampuan
intelektual inilah yang saat ini sudah banyak ditinggalka oleh aktivis gerakan. Mahasiswa terjebak dalam prilaku pragmatis
dalam menghadapi permasalahan yang terjadi tanpa melihat secara lebih mendalam
tentang substansi permasalahan yang dihadapi.
Pada akhirnya gerakan mahasiswa maupun mahasiswa itu saendiri gagap
terhadap setiap perkembangan jaman yang berubah secara cepat.
Penutup
Peranan politik mahasiswa itu,
pada setiap waktu, sangat penting. Gerakan mahasiswa itu semacam medan latihan
buat munculnya tenaga baru untuk partai, ormas, lsm, birokrasi, profesional,
dll. Eksistensi gerakan
mahasiswa amat ditentukan oleh kekuatan pemikiran dan kompetensi
profesionalnya. Sebagai anak zaman, gerakan mahasiswa juga bergerak seirama
dengan tuntutan zaman. Dalam konteks Indonesia, khususnya gerakan mahasiswa,
ada beberapa poin yang bisa dijadikan acuan gerakan, antara lain:
1. Gerakan mahasiswa mesti menyiapkan ruang yang kondusif untuk membekali
komunitasnya dengan keunggulan komparatif, agar kelak mampu eksis dalam
kompetisi politik dan ekonomi yang semakin terbuka dan ketat.
2. Gerakan mahasiswa yang secara ideologis memiliki keberagaman (pluralisme
ideologi), sudah semestinya mampu menemukan "sinergi kolektif"
melalui tradisi "komunikasi tanpa prasangka" demi memperjuangkan
kepentingan bangsa. Dalam diksi yang lain, sentimen ideologis kelompok atau
golongan, jangan malah mengalahkan kepentingan kolektif kita sebagai bangsa.
3. Gerakan mahasiswa mesti mengambil prakarsa untuk menstimulasi, menjaga,
dan mengawal berlangsungnya "demokrasi politik" dan "demokrasi
ekonomi", melalui pergumulan varian isu seperti supremasi hukum, kebebasan
berserikat/berkumpul, kebebasan pers, anti-KKN, penegakan HAM, dll.
4. Gerakan mahasiswa mutlak melakukan reorientasi dalam agenda gerakan atau
perjuangan kolektifnya. Sering perubahan konfigurasi dan budaya politik
nasional, tema-tema gerakan yang menjadikan "orang/figur sebagai musuh
bersama" tampaknya kurang relevan atau kontekstual lagi. Hendaknya,
gerakan mahasiswa lebih memberikan atensinya terhadap tema-tema mendasar
seperti ancaman disintegrasi nasional, disparatis antarwilayah, bias otonomi
daerah yang memunculkan sentimen/ego daerah yang justru mengancam NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD '45.
5. Gerakan mahasiswa sudah semestinya mentradisikan motivasi perjuangan
yang meletakkan loyalitas kepada cita-cita, bukan kepada orang. Gerakan
mahasiswa akan kehilangan jati dirinya ketika ia memainkan perannya sebagai
subordinasi dari orang per orang, dan bakal terkubur eksistensi sejarahnya
apabila ia membiarkan dirinya menjadi alat penguasa, siapa pun pemegang
kekuasaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar