SAMBUTAN
Segala puji kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha sempurna hingga saat ini kita masih bisa beraktifitas dan berpikir akan nasib bangsa ini. Dengan ‘Inayah-Nya jualah serta rahman dan rahim-Nya hingga tercipta sebuah tulisan kecil yang mempunyai makna lebih besar dari ukurannya (Insya Allah). Tidak lupa kita sampaikan salawat serta salam ke haribaan junjungan kita sang revolusioner dunia, Nabi Muhammad SAW yang hingga kini masih bisa kita rasakan nikmatnya ber-Islam setelah berabad-abad lamanya.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sebagai sebuah organisasi yang lahir dari kegelisahan-kegelisahan anak bangsa terhadap realitas sosial harusnya tidak pernah lepas dari Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang dibangun selama ini. Sinergisitas antara wacana dan gerakan yang selama ini tidak imbang menjadi sebuah kegelisahan tersendiri bagi kader yang satu ini. Banyaknya gerakan PMII selama ini tidak serta merta memunculkan posisi tawar yang berarti. Malah PMII seakan terjebak oleh kekuatan partai dan kepentingan alumninya. Lantas, dimanakah kelemahan kita saat ini?.
Pentingnya kaderisasi sebagai ujung tombak penerus esatafet kepemimpinan di tubuh PMII menjadi sebuah keniscayaan Banyaknya kader PMII saat Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA) ternyata tidak membawa perubahan yang berarti. Yang ternyata kader-kader yang mempunyai kualitas secara intelektual tidak terakomodir dengan baik (yang di dalam buku ini ditulis sebagai fenomena like and dislike). Dimanakah kesalahan kita dalam menerapkan pola kaderisasi selama ini?.
Realitas ini membuat kader PMII tidak ‘beriisi’. Untungnya mereka masih mempunyai semangat, meskipun tidak dibarengi dengan capacity building yang memadai. Hasilnya, gerakan PMII menjadi ‘teriakan sesaat’ yang akan hilang ditelan waktu tanpa menghasilkan apa-apa. Mari kita pikirkan bersama-sama, apa solusi yang tepat?.
Setidaknya, inilah yang dapat saya lihat dalam konteks Banjarmasin dan sekitarnya sebagai salah satu kader selama berjibaku dalam organisasi ini. Harapan saya dan kita semua PMII menjadi organisasi kader yang maju tidak hanya dalam wacana gerakan, tetapi juga langkah nyata di lapangan.
Akhirnya, kepada sahabat saya ucapkan terima kasih atas buah tangan yang dituliskan dalam sebuah buku kecil ini. Semoga Allah SWT memberikan ganjaran berupa goresan kebaikan di akhirat kelak. Amien.
Selamat membaca....!
Bravo PMII.....
Salam Pergerakan.....
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Tharieq
Banjarmasin, 4 Januari 2009
Nazaruddin Ikhwan
Ketua Umum PC PMII Kota Banjarmasin
SAMBUTAN
Membaca dan melakukan kontemplasi dari isi tulisan Sahabat Radini yang mencoba mengurai benang merah dari rekonstruksi paradigma kader dalam konteks lokal, sama halnya seperti mempertanyakan kembali out put yang dihasilkan dari kaderisasi yang selama ini dilakukan.
Ada sebuah hipotesis awal yang tersurat yang menyatakan bahwa kaderisasi yang dilakukan hari ini hanya semata-mata rutinitas formal yang dilakukan dari standar minimal kehendak buku panduan pengkaderan. Mestinya pengkaderan yang dibangun hari ini tetap kontinu untuk menghasilkan out put kader yang dalam bahasa pergerakan menghasilkan kader mujtahid, tidak berhenti pada tataran sesaat yang putus mata rantainya akibat intrik-intrik yang mengenyampingkan aspek moralitas untuk bisa dikedepankan.
Geliat pemikiran yang dituangkan oleh Penulis merupakan sebuah kesadaran yang ingin dibangun agar dalam pengkaderan kedepan bisa lebih di optimalkan. Sehingga kader-kader yang dihasilkan dapat melaksanakan roda organisasi secara massif dan profesional. Ini tentunya meniscayakan kepada pemegang mandat organisasi agar porsi pengkaderan lebih dimaksimalkan. Apalagi buku ini diterbitkan manakala PKL dan detik-detik suksesi ke XIX PKC PMII Kalimantan Selatan akan dilaksanakan.
Semoga mandat ini bisa dicapai manakala keinginan kita secara bersama-sama dapat terakomodir dalam proses demokratisasi yang sedang berlangsung, dengan mengambil satu ruang yang cukup besar hasil dari legitimasi seluruh Cabang-cabang PMII Kalimantan kita harapakan mampu mendesain PMII ke depan dalam semangat untuk membangun dan melakukan perubahan.
Mari mengawalinya dengan sebuah momentum sehingga dengan energi besar yang sudah tersedia kita harapkan mampu menciptakan gerakan yang bermakna, untuk kita dan untuk banua ini. Mendefinsikan makna ini yang akan membutuhkan pengorbanan bagi segenap kader pergerakan, di mana permasalahan mengaktualisasikan makna akan mendapat benturan-benturan dari sekian sudut pandang. Dari Pembacaan sederhana yang di lakukan sahabat Radini ini akan mengantar kita memahami perspektif dan cara pandang dalam upaya melakukan upaya kontekstualisasi gerakan dan pengkaderan di benua kita.
Mari membaca buku ini dan lakukan kritik konstruktif dalam kerangka dialogis sehingga akan menciptakan dinamisasi dalam gerakan kita. Dan dengan semangatlah kita akan mampu menyuplai energi gerak untuk PMII di Kalimantan Selatan.
Amuntai, 4 januari 2009
Bunyamin
Wakil Ketua PKC PMII Kalsel 2006-2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR PENULIS 1
SAMBUTAN 4
DAFTAR ISI 8
MEMBACA ULANG SEJARAH,
RANCANG ULANG PMII KEDEPAN 10
II. QUO VADIS KADER KITA ? 19
III. REKONSTRUSI PARADIGMA KADER 24
IV. MEMBANGUN PENGKADERAN BERBASIS LOKAL 27
PENUTUP 32
DAFTAR BACAAN 33
SECUIL RENUNGAN 34
CURRICULLUM VITAE 36
Selamanja saja hidoep, selamanja saja
akan berichtiar menjerahkan djiwa saja goena keperloean ra’jat
Boeat orang jang merasa perboetannja baik goena sesama manoesia, boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes
TETAP menerangkn ichtiarnja mentjapai maksodnja jaitoe
HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT SAMA RATA SAMA KAJA SEMOEA RA’JAT HINDIA
( Semaoen, 24 Djoeli 1919 )
BAB I
MEMBACA ULANG SEJARAH,
RANCANG ULANG PMII KE DEPAN
PMII sewaktu lahirnya 17 april 1960 di Surabaya adalah onderbouw partai NU Ia didirikan oleh M. said Budairi dkk 5 orang dengan maksud untuk menampung putra-putri NU. Semula Mahasiswa NU ditampung dalam IPNU, struktur organisasi dalam Departemen perguruan Tingggi. Kemudian timbul IMANU, tetapi ini tidak memberikan kepuasan. Lalu berbagai pertemuan antara lain di Ponorogo, Kaliurung, Mega Mendung, dan lain-lain dibentuklah PMII ( ini dapat dilihat di dokumen-dokumen Historis PMII ).
Tentunya setiap perjuangan sudah barang tentu mengalami pasang surut, tak terkecuali PMII, pada saat masa jayanya PMII dan gerakan kemahasiwaan di tanah air tahun 1965/1966 merasa terpanggil untuk menjebol Orde Lama, namun setelah itu kita dapat membaca dalam sejarah nyaris gerakan PMII mengalami stagnasi. Stagnasi ini tentunya disebabakan PMII : Pertama, tidak mampu memposisikan dirinya sebagai murni pejuang ekstra Parlementer dan kecenderungan political oriented dan melupakan tugas utamanya dalam membina kader anggotanya. Kedua, Kondisi sosisoa-politik menjelang dan sesudah Pemilu 1971 menyebabkan merosotnya kreatifitas kegiatan dan peranan PMII.
Fenomena gerakan seperti ini berlanjut sampai pada aksi gerakan mahasiswa 1998, meski mampu menumbangkan rezim Orde Baru dan kemudian menggantikannya dengan gerbong kereta yang bernama reformasi. Tapi entah kenapa lagi-lagi fenomena gerakannya sama, gerakan mahasiswa tidak mampu memberikan apa-apa selain pangkat heroisme yang melekat dalam dirinya.
BAGAIMANA PMII SEKARANG?
Hampir setengah abad usia PMII. Fase umur lima puluh tahun adalah titik kritis bagi sebuah organisasi kemahassiwaan yang memiliki jumlah masa dan cabang begitu banyak seperti PMII. Titik kritis perlu disikapi dengan mencari ramuan tepat format gerakan organisasi PMII.
Membaca “hakekat diri” merupakan inti dari gerakan perubahan, dan PMII harus beranjak dari ribuan pertanyaan di benaknya, andai hari ini PMII bisa dikatakan ada, maka berati dia mempunyai peran atau fungsi. Kemuadian banyak gugatan, peran dan fungsi apa yang selama ini dilakaukan oleh PMII? Apa bukti bahwa amal sholeh betul-betul menjiwai bagi ruh pergerakan? Kalau memang PMII “sangat dekat dengan NU” apa karya nyata PMII bagi jama’ah dan jam’iyah? Apa sumbangan untuk bangsa ini? Dan ribuan pertanyaan gugatan lain yang mepertanyakan tentang lakon gawianPMII, tentunya ribuan jawaban berupa argumentasi yang digunakan sahabat-sahabat, entah dengan tulisan, polemik, apologi, aksi jalanan, menebar program kerja, atau berdiam.
Terlepas dari beragam respon yang beragam guna menjawab pertanyaan diatas, tetunya sahabat-sahabat harus mampu membuktikan diri dan dan mencari tahu makna “Hakekat diri“ PMII. PMII yang terlahir dari masyarakt pedesaan dan terlahir dari kemelaratan tentunya mengharuskan keterlibatan langsung bagi PMII guna menjawab permasalahan-permasalahan yang sebenarnya adalah permasalahan dirinya sendiri. Adalah sangat naib ketika realitas diri tidak mampu dirasakan oleh kader pergerarakan dan tentunya menjadi sangat lucu apabila PMII mengalami “mati rasa” ketika ia tidak mampu merespon dan menjawab permasalahan kesenjangan sosial di masyarakat. Berangakat dari membaca ‘diri’ seharusnya ia mampu menemukan semangat yang universal dalam membangun arah gerakan PMII kedepan.
Diakui atau tidak berbagai macam orientasi dan kepentingan tentunya mengharuskan PMII “timbul dan tenggelam” dalam sejarahnya. Fenomena pertarungan idealis dan pragmatis turut serta mengantar PMII sampai sekarang entah karena keterlibatanya secara langsung dengan kepentingan elite politik atau gerakan-gerakan lain yang anti struktural dan anti system, akan tetapi kesemuanya memerlukan penerjemahan ulang dimana posisi ideal bagi PMII sekarang?
Jawaban bagaiman PMII sekarang tentunya merupakan pilihan kita, karena berbagai fenomena dan pengalaman sejarah sudah memberikan pengalaman dan landasan bagi kita untuk melangkah. Boleh jadi nanti gerakan kita bertransformasi dalam bentuk pejuang rakyat ( yang merupakan khittah kita ) atau pejuang kepentingan elite yang mengabdikan dirinya dalam teralis kekuasaan ataupun hanya sebagai Intelektual Marsose ( agen intelektual asing ).Wallahu‘alam.....
MEMFORMULASIKAN GERAKAN, MEMBANGUN IDENTITAS DAN MENJAWAB KERAGUAN
Saya teringat ketika ditanya oleh salah satu panelis dalam acara debat kandidat pencalonan Presiden Mahasiswa di IAIN Antasari Banjarmasin, salah satu pertanyaan yang sangat menarik (meski bisa di bilang pertanyaan ini sangat klasik) terkait tentang “apa yang menjadi semangat saya untuk memimpin gerakan kemahasiwaan ?” Dalam benak saya waktu itu mungkinkah saya mampu menanamkan satu bentuk paradigma ideal dalam gerakan kemahasiwaan yang sudah memilki ratusan cara pandang dan ideology, tetapi dengan pasti saya menjawab bahwa ketertarikan saya dalam gerakan kemahasiwaan adalah adanya semangat gerakan anti kemapananyang selama ini melekat dibaju seluruh aktifis gerakan kemahasiswaan, entah benar atau tidak tapi saya menyakini formulasi yang sederhana antara anti kemapanannya mahasiswa dengan strategi yang matang dan dibungkus dengan teori-teori akademik akan mampu melakukan perubahan di dalam masyarakat.
Anti kemapanan merupakan ciri khas yang menurut saya harus menjadi modal gerakan kemahasiswaan dalam melakukan perubahan sosial tidak terkecuali di tubuh PMII itu sendiri, ciri khas yang melekat tadi tentunya merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi Negara maupun asing karena ia merupakan antitesa wacana hegemoni yang bergulir disekitar kita. Keberanian yang sudah melekat dalam diri gerakan kemahasiwaan akan menambah daya dobrak dan tentunya harus dibungkus kerangka berpikir akademik dan tersistematis.
Negara Vis-A-Vis Globalisasi dan mencari posisi PMII
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia.
Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa.
Tidak jarang, globalisasi, untuk banyak wilayah dunia dan sebagian manusia, dialami sebagai pengambil alihan sejumlah pola pikir dan ungkapan perasaan dan pikiran dari luar, sementara sebagian besar pikiran dan ekspresi perasaan dan pikiran masih berada di bawah penentuan tradisi lama. Orang mengambil alih sejumlah hal dan menempelkannya pada sebuah sosok yang mempunyai mentalitas yang lain. Menurut Franz Magnis-Suseno lagi, Globalisasi ini tidak menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan negara. Berhadapan dengan kekuatan global raksasa, negara-negara lemah tidak dapat mempertahankan diri : pola Produksinya, tingkat hidup, industri. Sedangkan disetiap negara yang akan tersingkir adalah orang kecil. Disadari atau tidak, telah terjadi hegemoni kekuatan global (Asing) dan elite nasional di tanah air ini.
Motor paling kuat dibelakang organisasi adalah kepentingan ekonomi, hasrat untuk memaksimalkan profit. Globalisasi berjalan bersama dogma Neoliberalisme yang menuntut agar perekonomian seluruhnya diserahkan pasar yang dikuasai oleh modal dan komoditi kekuatan global. Kekuatan global tidak tidak mempunyai perhatian terhadap kesejahteraan, apalagi keadilan pembangunan masyarakat.
Dalam teori persekutuan segitiga ( Triple Alliance ) tentang Negara, teori ini berbicara tentang tiga unsur : Negara, kaum borjuis nasional dan modal asing. Untuk pengembangan industri, modal asing dibutuhkan. Supaya modal asing tidak terlalu mendominasi negara, maka negara memperkuat kaum borjuis nasional untuk mengimbangi pengaruh modal asing. Penguatan borjuis nasional untuk mengimbangi pengaruh modal asing. Penguatan kaum borjuis nasional oleh negara juga dipakai untuk mendapatkan kekuatan politik dalam negeri. Tanpa ini negara akan dituduh sebagai boneka atau antek modal asing. Dengan demikian, terjadi semacam persekutuan antara tiga komponen ini. Setiap komponen mengambil keuntungan dari kerjasama ini.
Sistem kapitalisme global yang yang masuk ke Indonesia dalam kerjasama triple alliance tentunya membutuhkan keberanian kita dalam memposiskan diri dan mengarahkan konsentrasi kita terhadap isu-isu masyarakat marginal untuk membangun orientasi gerak yang Pro Poor.
Arus globalisasi bagaikan boldoser penghancur yang menggerus nilai-nilai kearifan lokal, sehingga potensi kita kehilangan jati diri sebagai bangsa sangat memungkinkan terjadi dan pada gilirannya arus ini akan membentuk pandangan matrealisme disegala aspek kehidupan. Arus ini memaksa perubahan begitu cepat pada paradigma gerakan mahasiswa serta mengharuskan kita untuk menyesuaikan pilihan-pilihan gerakan. Paradigma idealis yang lugu dan pilihan gerakan yang sangat sederhana dan minim hanya akan menjadikan kita sebagai boneka dalam isu-isu global atau menjadikan kita sebagai kambing hitam dalam percaturan kepentingan elite.
Disinilah wacana anti kemapanan mahasiswa menemukan tempatnya, saat negara dan bahkan ruang nafas kita pun telah di rebut oleh asing dengan kekuatan modal raksasa yang tak tebatas. Maka jawaban awal dan merupakan ujung tombak untuk melawan arus globalisasi yang berbalut budaya Kapitalis hanyalah dengan menanamkan investasi supremasi moral pada kader, tanpa semangat ini kita akan sulit menemukan keotentikan idealis dalam bergerak yang selalu mendapat guncangan matrealisme dan pragmatisme yang membungkus setiap sendi dalam kehidupan dewasa ini, langkah selanjutnya yang tidak kalah strategis adalah menggali khazanah lokal untuk penguatan identitas dan menemukan semangat-semangat yang terpendam dari almarhum-almarhum tuan guru - tuan guru di tanah banjar yang mengajarkan tentang kemurnian dalam membangun gerakan-gerakan civil society. ( ide ke dua ini merupakan hasil diskusi saya dengan teman yang sudah malang melintang di NGO Internasional )
Setelah memaparkan dimana penempatan wacana anti kemapanan,tentunya bukan berarti kita harus meninggalkan orientasi ekonomi, karena harapan kedepan pola gerakan yang kita bentuk juga harus jeli dalam melakukan penguatan ekonomi karena biar bagaimanapun sebuah gerakan modern memerlukan ekonomi building untuk mencapai tujuannya, entah itu jabatan strategis atau penguatan kelembagaan secara umum, logika dasar yang dipergunakan ketika berbicara ini adalah kecemerlangan ide (semisal, program kerja) tidak akan berjalan tanpa penguatan finansial (ekonomi building) untuk itu kemampuan survival kader-kader PMII juga harus menjadi perhatian kita semua.
Step by step
Kerangka berpikir yang harus dibangun dalam menyikapi keadaan ini adalah dengan menciptakan dua stage berpikir dalam melakukan pola pengkaderan, pada stage awal kader selalu mengarah pada orientasi studi sehingga sense of belonging masih belum menemukan tempatnya. Pengkaderan pada tingkatan ini lebih memfokuskan bagaiamana membentuk format yang baik dengan menggabungkan pengembangan wacana ( Teori di bangku kuliah ) dengan kepekaan sosial (sense of resfonsibility), disini kita memulai memupuk kader dengan pengembangan wacana-wacana kiri ( Ex. Kiri Islam, Matrealis Dialektisnya Marx, teori pengorganisian tani ala Mao Tse Tung, dll.) sehingga wacana anti kemapanan memiliki contentnya dan dapat diaplikasikan pada ranah gerakan kader di tingkat pemula. Stage berpikir ini dapat dilakukan ketika awal-awal masa-masa kuliah dan uang murni dari orang tua dan kader masih dalam ruang lingkup Pengurus Rayon dan Komisariat. Stage selanjutnya bagaimana kita berbicara tentang tujuan gerakan dan tidak mengindahkan kemapanan ekonomi artinya pada stage berpikir ini kader pergerakan sudah memulai membangun kemapanan ekonomi dengan tetap berpikir idealis (pematangan dimulai pada stage awal). Kader yang sudah memiliki kematangan pada tingkat ideologi dan wacana ini akan mampu memberikan warna di dalam gerakan struktural maupuan gerakan kultural. Kader yang diciptakan dalam stage ini terlibat secara langsung dalam lingkup Pengurus Cabang dan PKC.
Setelah penyemaian itu berhasil maka target akhir dari proses ini kita akan mampu berbicara grand design besar untuk mengkonkritkan bahasa perubahan. dan itu artinya kemampuan kita dalam menempati posisi struktural adalah jawaban konkrit. Pada akhirnya kekuatan yang kita kuasi inilah yang akan mengkongkritkan gerakan kita dalam upaya membentuk system yang ideal dalam persfektif pro Poor. Dengan merebut posisi-posisi strategis inilah kita akan dapat mengambil mandat sejarah yang sudah lama tidak kita pegang.
Jika proses ini berlalu dengan baik maka pertanyaan tentang eksistensi ( peran dan fungsi ) PMII dan gerakan kemahasiswaan mungkin akan terkubur oleh bukti yang selama ini dirasakan oleh masyarakat secara umum dan jika ini berlalu dengan wacana ideal yang selama ini digulirkan maka harapan terakhir saya, ini tidak hanya sebagai onani intelektual para pewacana gerakan atau penulis disini pada akhirnya memiliki predikat watak mediatik ( Watak yang merasa bangga ketika tulisan atau gerakannya disorot oleh media ) tapi ini semua kembali dari setiap persfektif kita.
PMII DAN TATARAN COSMO ( DALAM RUANG LINGKUP GERAKAN MAHASISWA DAN PEMUDA ), MENYONGSONG PMII MASA DEPAN.
Semua gerakan mahasiswa tidak terkecuali dengan PMII lahir dari credountuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan raionalitas. Namun peta sederhana tentang gerakan pemuda menunjukkan adanya kompetisi yang komplikatif dan cenderung tidak sehat diantara gerakan pemuda dan mahasiswa ditengah lambatnya proses transisi demokrasi. Alih-alih bersinergi melawan ketidakadilan, korupsi dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh para penguasa, aktivis gerakan pemuda dan mahasiswa sibuk membuat strategi berkompetisi diantara mereka sendiri sehingga arah gerakan pemuada menjadi involutif dan kontradiktif.
Saatnya kita berbicara tentang prioritas gerakan dan mulai kembali ke khittahnya, tidak adakah hal yang lebih penting menyangkut tanggungjawab yang dipikul seorang aktivis gerakan daripada sekedar berkompetisi untuk sebuah eksistensi golongan? Tidakkah para pengemban perubahan ini melihat bahwa proses transisisi demokrasi telah lama mengalami stagnasi? Masihkah aktivis gerakan berkutat pada kelemahan dirinya sementara ribuan bahkan juataan rakyat menanti uluran tangannya? Adakah yang lebih mendesak daripada mulai meluruskan dan mengambil langkah strategis agar gerakan tidak terhenti dipersimpangan jalan? Masihkah gerakan mahasiswa berada pada garis perjuangannnya, memperjuangkan kebenaran sejati daripada sekedar mencari ‘keuntungan’, kepentingan sesaat serta tawaran-tawaran menggiurkan dari sebuah bisnis gerakan.
Dibutuhkan sebuah terobosan baru dengan menjalin komunikasi yang lebih baik diantara gerakan-gerakan mahasiswa dan pemuda yang ada sehingga saling mengerti dan memahami silaturahmi dan sharing diantara elemen gerakan mahsiswa dapat mengurangi ketegangan dan kecurigaan yang tidak perlu sehingga energi yang terserak dapat terkumpul menjadi kekuatan yang luar biasa. Sudah saatnya stigmatisasi dan prejudice diantara aktivis disudahi dengan saling bersapa dan berbagi.
Mengawali semua wacana tadi tentunya dibutuhkan suri tauladan dan kedepan harapan kita bersama semangat ini akan menjadikan PMII mampu mengupayakan inklusifitas dalam bergerak dan menjadi contoh bagi gerakan kemahasiswaan lain. Ketertindasan kita sebagai golongan tradisional yang selama ini kita rasakan bukan berati membuat kita picik dalam berpikir akan tetapi menjadikan diri kita termotivasi untuk merebut kembali mandat sejarah dengan tidak menghegemoni. Pengupayaan Kualitas kader adalah harga mati ketika kita ingin merebut setiap lini dalam ranah publik karena dengan kualitaslah kita akan tetap mampu berbicara keadilan dan proporsionalitas.
BAB II
QUO VADIS KADER KITA ?
Cara pandang manusia merupakan hasil dari pengalaman empiris yang selama ini dialaminya, baik ketika ia memutuskan untuk meilih teman, menentukan kelompok, serta mencari prinsip - prinsip identitas. Pencarian yang selama ini dilakukan menandakan bahwa ia merupakan bagian integral dari komunitas sosial yang tentunya membutuhkan pemahaman lebih lanjut ketika kita ingin memaknainya sebagai kader.
Kader-kader yang secara sadar atau tidak sadar memasuki PMII dalam MAPABA merupakan kader yang sangat hijau dalam mengartikan dunia baru sebagai aktifis gerakan, ketertarikan itu bisa di mulai dari persamaan visi atau hanya sekedar ikut-ikutan ketika teman atau senior masuk PMII, akan tetapi permasalahan selanjutnya yang harus kita ungkap bukanlah mengenai cara mereka masuk kedalam organisasi ini atau kuantitas kita yang semakin hari-semakin sedikit, akan tetapi bagimana pertanyaan itu hendaknya diarahkan kemana kader-kader kita itu diarahkan setelah masuk kedalam organisasi yang bernama PMII ?
Memang agak terlalu jumawa apabila kita yang masuk dalam jabatan struktural PMII memikirkan seluruh anggota kader dan kemudian memikirkan penditribusian kader secara keseluruhan, akan tetapi mengupayakan sebuah perangkat spirit bahwa kita adalahan bagian dari sahabat yang akan saling menolong dan kita adalah sebagai bagian dari keluarga yang sangat besar mungkin masih bisa di wujudkan, karena rasa kebersamaan dan kekeluargaan inilah yang akan memepermudah kita mengarahkan perahu besar yang bernama “Bahtera PMII”.
Kader PMII dengan sendirinya akan berbicara kesempatan “kita” ketika ruang peluang di berbagai sektor itu tercipta karena kita telah menjadi keluarga yang sangat besar dan ia dengan sendirinya berbicara “aku” dan “kami” ketika rasa persahabatn dan kekeluargaan itu tidak dapat menemukan makna yang baik ketika ia berada dalam wadah gerakan PMII. Teori hubungan dalam disiplin ilmu psikologis sosial dapat menjelaskan bagaimana proses seseorang akan memilih golongan atau kelompok karena di latar belakangi adanya pengalaman terbaik selama penyemaian dirinya dengan golongan atau kelompok disekitarnya.
Kemana kader diarahkan ringkasnya tergantung pada proses yang selama ini terjalin semasa pertemanan di dalam organisasi kita dan yang paling akhir yang patut dicatat bahwa kita tidak hanya bisa berharap pada sahabat-sahabat saja akan tetapi kekuatan individulah yang paling berperan dalam setiap proses penyemaian ini.
MENGURAI BENANG KUSUT PENGKADERAN PMII DI KALSEL
Harus kita pahami bahwa kesalahan dan kegagalan di mulai dari satu titik absurd yang pada akhirnya membuat kesemrawutan yang solah-olah kesalahan itu tidak pernah ada habisnya dan kadang kita menganggap itu merupakan penyakit kronis yang tidak akan pernah terobati. Perasaan pasrah kadang menjadi bentuk keputusasaan yang membuat kita sulit untuk menerangkan dimana kesalahan kita yang pada akhirnya membuat stagnasi pada paradigma, imbasnya kita tidak akan pernah mampu menjawab permasalahan-permasalahan di dalam lembaga kita sendiri.
Dengan sedikit mencoba membedah PMII dalam konteks Kalimantan Selatan, penulis menemukan beberapa permasalahan bentuk kaderisasi yang salah dan boleh di bilang penyakit kronis dalam budaya kaderisasi kita, yang akan penulis ungkap dalam dua permasalahan besar :
1. Kegagalan Pematangan Gerakan
Selama empat tahun penulis berkecimpung dalam organisasi sebesar PMII, penulis melihat kelemahan ini disebabkan tidak jelasnya konsep dalam bentuk program kerja dari setiap kepengurusan sehingga sangat minim dalam strategi, teknik, dan cara pengaplikasiannya. Hal yang paling bermasalahan ketika kepengurusan PMII tidak mampu membedakan arti penyempurnaan ideologis,pencapaian strategis, dan pencapaian praktis. Sangat dangkalnya pemahaman-pemahaman seperti ini membuat sulitnya membangun identitas ketika ketika kepengurusan berganti, imbasnya gerakan- gerakan kita ketika akan melakukan regenarasi kepengurusan kita hanya berbicara antara like and dislike dan sangat jauh berbicara program calon, apalagi karakter vision calon. Memaang sangat naib akan tetapi ini kenyataan didalam tubuh PMII yang pada akhirnya mebuat kita akan terbius pada permasalahan-permasalahan praktis an sich.
Berpikir yang tidak tersistematis seperti diatas pada akhirnya membuat mandegnya progress gerakan di tubuh PMII jangankan berpikir untuk peningkatan bargaining untuk organisasi secara keseluruhan memikirkan untuk permasalahan fit back setelah menyelesaikan jabatan struktural di PMII saja kader-kader PMII sudah kesulitan. Hal ini dapat dilihat bagaimana kader PMII seolah-olah tidak mampu menemukan dunia baru pasca menyandang predikat aktifis gerakan mahasiswa. Idealnya ketika kita sudah memilih aktivis gerakan sebagai jalan maka sampai kapanpun nafas gerak ini akan terus ada dimanapun kita berkiprah, singkirkan dulu ketika kader berhasil menjadi PNS pasca kepengurusan karena ini bukan barakahnya dari kita aktif berorganisasi, logikanya tanpa ikut berorganisasi semua orang punya kemampuan yang sama ketika ingin menjadi PNS. Artinya ada sebuah kesalahan fatal yang kita lakukan selama menjabat posisi-posisi tersebut.( disini saya tidak mengindahkan bahwa semua itu adalah takdir Allah, tetapi penulis yakin bahwa semua itu merupakan proses kausalitas yang dalam bahasa agama disebut sunatullah, tergantung bagaimana kita memulai, menjalani, dan mendapatkan target-target kita selama berorganisasi )
Permasalahan selanjutnya adalah ketika kita tidak dapat mengartikanPost Ego Power Sindrom sebagai lecutan semangat untuk berkiprah sejajar dengan organisasi lain. Ketika kita menyatakan dengan lantang kita sebagai organisasi Independent dan tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi lain maka ini mempunyai pemaknaan bahwa kita sejajar baik dalam posisi ataupun peran. Sehingga cara berpikir yang harus dibangun dalam berorganisasi adalah bagaimana kita dihargai secara struktural dalam organsiasi berbeda ketika kita sudah mendapat pencapaian strategis di PMII, baik sebagi KETUM, SEKUM, ataupun BENDUM di Cabang ataupun PKC, kalo toh kita terbiasa sebagai orang yang mempunyai peran strategis dan penentu kebijakan dalam organsisasi maka seharusnya kita juga mendapatkan tempat-tempat strategis itu di organisasi berbeda, kalau masalah ini dimaknai sebagai permasalahan sepele maka kedepan PMII tidak lain dipandang sebagai organisasi kacanganketika berhadapan dengan komonitas luar.
Perangkat yang minim dalam akses jaringan menambah sulitnya daya dobrak di tubuh PMII hal ini disebabkan budaya kaderisasi yang tidak pernah berbicara bagaimana mengelola dan melestarikan jaringan untuk kepentingan organisasi kita sendiri. Dalam hal pengelolaan jaringan terkesan hanya sebagai jaringan individu an sich sehingga bila berbicara jaringan untuk kemaslahatan organisasi sangat jauh dari harapan. Budaya individual sudah sangat menggurita sehingga ketika berbicara untuk organisasi adalah bagian dimensi yang lain dalam persfektif “aku” dan “kami”.
2. Absurditas Pemaknaan Progress Akademik
Berbagai fenomena kegagalan kaderisasi yang selama ini penulis rasakan disebabkan proses dialektis yang tidak purna di dalam tubuh PMII. Fenomena awal yang sangat terlihat adalah ketidakmampuan PMII dalam menyiapkan landasan sosio-kultural untuk wacana akdemik, dan ini dapat dilihat sangat minimnya kegiatan-kegiatn diskusi baik ditingkat rayon, komisariat, cabang, sampai PKC sehingga pada akhirnya melahirkan kader yang tidak mampu melakukan perlawananan terhadap hegemoni wacana dan pada akhirnya ketika pertarungan-pertarungan itu menuntut masuk dalam wilayah-wilayah pemikiran kita seolah-olah menjadi macan ompong yang tidak mampu merespon atau malah tidak mampu merasakan sama sekali pertarungan itu. Jika kita sebagai penonton mungkin lebih baik akan tetapi ketika kita kebagian peran sebagai pion dalam percaturan strategi wacana mungkin sangat naif dan inilah yang seharusnya sangat dihindari.
Ketidaksiapan PMII dalam menciptakan landasan soiso-kultural akademik tadi selanjutnya berimbas pada hilangnya kader-kader berkualitas di tubuh PMII, karena boleh jadi ketika alasan masuknya seseorang kedalam PMII dilihat karena orientasi ideal dalam gerakan, selanjutnya ia malah tidak menemukan kerangka ideal di dalam tubuh PMII itu sendiri disebabkan ketidakmampuan orang didalam tubuh PMII mengaplikasikan nilai-nilai ideal dalam ranah gerakan.
Fenomena ketiadaan orang-orang militan adalah sangat beralasan di dalam tubuh PMII karena toh PMII tidak mampu menempatkan seseorang sesuai dengan karakter dan kemampuannya. Andai PMII mampu menempatkan hasrat kader-kadernya baik untuk progress gerakan ataupunprogress akdemik dengan menyiapkan landasanya yang memang keniscayaan adanya ditubuh PMII maka jelas gerakan PMII kedepan akan menjadi sentrum gerakan di kalimantan Selatan
Ketika cara berpikir merusak muncul semacam “bahwa kita tidak memerlukan seorang konseptor tetapi kita hanya membutuhkan seorang pekerja” maka sangat disayangkan bila ini sudah menjadi virus yang merusak setiap organ-organ pengkaderan karena cara berpikir seperti ini akan membunuh kader-kader berkualitas di PMII yang tentunya menciptakan PMII sebagai giant killer watak akademik dan mungkin kedepan PMII di Kalimantan Selatan tidak akan mampu menciptakan Hafiz Anshari-Hafiz Anshari baru ( Guru besar IAIN dan Sekarang Ketua KPU Pusat ) atau tokoh-tokoh besar lainnya. Dan yang harus dipertegas bahwa PMII adalah lembaga pengkaderan dalam wilayah kemahasiswaan tentunya harus menyiapkan tempat bagi sahabat - sahabat yang senang melakukan pengembangan wacana, kalau ini tidak mampu diciptakan maka PMII tidak ubahnya Partai Politik kuno yang pekerjaannya hanya memobilisasi dan menumpuk kader-kader sebanyak-banyaknya dan menyiapkan tempat sampah untuk pembunuhan Intelektual-intelektual masa depan.
BAB III
REKONSTRUKSI PARADIGMA KADER
Tulisan saya pada bab ini dimulai ketika saya terlibat diskusi kecil dengan teman-teman NGO/ LSM terkait dengan organisasi yang selama ini ia berkiprah, dalam diskusi itu teman saya nyeletuk “bahwa organisasi ini hidup dari Ide dan Gagasan, dan saya pun dapat hidup juga karena ide dan gagasan”. Kemudian saya bertanya kembali dalam diri saya ketika saya membandingkan hal ini dengan organisasi yang selama ini saya berkiprah ( PMII di KalSel ), memang tidak fair bila membandingkan organisasi pengkaderan dengan NGO/LSM yang sudah berbicara profesionalitas meski pada posisi kita sama-sama memposiskan diri sebagai pejuang ekstra parlementer akan tetapi bukan disana masalahnya, ada satu masalah dan menjadi pertanyaan yang membuat saya sangat gelisah terkait masa depan PMII, pertanyaan ini menyangkut bagaimana jika suatu saat yang menjadi pejabat pemerintah bukan orang yang sangat respect terhadap organisasi kita atau bagaimana jika kekuatan Kultural ( NU dan Kalangan Tradisional ) yang selama ini menjadi salah satu kekuatan kita dalam membangun bargaining sudah tergerus atau hancur? pertanyaan selanjutnya siapkah kita menjadi kalangan minoritas di daerah ini, lalu bagaimana jika itu terjadi ?
Ironis memang jika kita lagi-lagi berbicara tentang bisnis gerakan (politik dagang sapi. Red) dengan menjajakan diri sebagai kekuatan tradisional dan gerakan mahasiswa terbesar tanpa menyadari betapa suatu saat segala kemungkinan itu akan terus terjadi, haruskah kemudian PMII layu dan kemudian mati?
Sebagai gerakan Intelektual PMII seharusya peka akan wacana-wacana terkait dengan segala kemungkinana itu yang semestinya harus selalu kita diskusikan, saya akan mengambil contoh dengan lembaga teman saya itu, lembaga itu tidak memiliki jaring-jaring alumni yang besar dan tidak memilki kekuatan riil dalam hal basic keanggotaan akan tetapi dalam hal gerakan dan action lembaga itu tidak terikat hanya dengan satu sumber dana dan kekuatan politik ( boleh di bilang sangat independent ) bahkan lembaga itu sangat mempunyai nama besar dan sangat terbukti mampu memberikan masukan-masukan serta problem solving untuk daerah, boleh dibilang hidup dan besarnya lembaga itu dari ide dan gagasan.
Lembaga yang saya ceritakan tadi hanya memilki 5-6 orang saja sebagai pengurus, bahkan salah satu lembaga itu hanya memiliki 2 orang pengurus tetapi tipikal-tipikal orang yang berada dalam lembaga ini adalah konseptor yang matang dan militan, sehingga sangat naif apabila kita masih bercelutuk kalau penyebab mandegnya gerakan PMII karena kurangnya kepengurusan yang aktif dalam setiap periode dan sangat aneh kita masih bingung dalam membesarkan lembaga kita yang setiap kali MAPABA khususnya untuk PC. Banjarmasin merekrut lebih dari 200 peserta dan ini belum lagi dari daerah-daerah lain di luar Banjarmasin, dan untuk catatan kita juga, mungkin sangat sulit untuk kita mendapatkan datanya karena ini merupakan salah satu kelemahan kita lagi dalam menginventarisir aset yang bernama kader.
Mengaca dari contoh yang saya ungkapkan diatas artinya keIndependenant gerakan merupakan keharusan dan PMII harus betul-betul memilki pemikir-pemikir gerakan yang andal sehingga suatu saat PMII betul-betul mampu menjadi parameter keberhasilan seluruh gerakan di Kalimantan Selatan.
APA YANG HARUS DI REKONTRUKSI ?
Kesulitan awal didalam tubuh PMII yang penulis rasakan sangat menghambat adalah hadirnya femeo “ NATO ( No Action Talk Only )“ yang kadang hanya menjadi justifikasi untuk membunuh kader-kader yang senang diskusi terkait konsep dan wacana ideal, jangankan untuk berada dalam struktur orang-orang ini akan mati dengan sendirinya dan kadang kemudian pergi mencari lembaga yang bisa mengapresiasikan wacananya tadi. Yang harus digaris bawahi disini adalah pewacana tadi adalah tipikal-tipikal konseptor yang dalam beberapa tahun kedepan akan memilki dan mempunyai konsep matang ( bukan omong kosong ) apabila diberikan ruang lebih kepadanya untuk mengapresiasikan wacananya, tentunya dengan wacana dan desain gerakannya, PMII pun dalam setiap aksi mempunyai bobot dan lebih mengena dalam menganalisa permasalahan.
Rasa terpinggirkan dengan perbedaan kemampuan dalam menangkap isu-isu dan menerjemahkannya kemudian menjadikannya seolah-olah ia menjadi orang-orang asing di dunia pergerakan PMII, tentunya akan semakin mematikan wacananya. Maka ketika dia berada dalam gerakan seperti ini maka apa yang dapat ia lakukan sehingga pada titik nadirnya orang-orang yang seperti ini akan hidup tapi seolah-olah mati, dan potensi yang dimilikinya hanya akan menguap dalam gerbong besar PMII.
Melihat fakta dan kenyataan diatas yang harus diawali dalam upaya rekontruksi ini adalah upaya Penyamaan pandangan terkait bahwa perbedaan masing-masing kader dalam upaya membangun PMII merupkan sunatullah akan tetapi perbedaan ini harus tetap menyediakan tempat dialog yang baik sehingga akan muncul bentuk produk unggulan yang baik dari yang terbaik dalam membangun PMII kedepan.
Konkritnya kita harus menciptakan landasan sosiso kultural dalam menciptakan tempat dialog sehingga dengan proses dialektis yang bagus tidak akan ada lagi kekuatan-kekuatan terpinggirkan yang pada akhirnya energi itu tidak akan memberikan apa-apa bagi PMII.
BAB IV
MEMBANGUN PENGKADERAN BERBASIS LOKAL
Sistem pengkaderan yang diterapkan oleh PB PMII berbentuk modul dan kemudian dicetak menjadi ribuan eksemplar buku-buku lalu didistribusikan ke daerah-daerah pada akhirnya hanya menjadi kitab suci yang sangat sangat sakral untuk dibuka oleh kader-kader pergerakan di daerah, memang sangat sulit untuk di katakan tidak tepat atau tidak bagus isi buku-buku yang ada sekarang disetiap cabang-cabang PMII. Mengatakan siapa yang salah tentu tidak akan ada habisnya tetapi kita harus kembali memulai semuanya dari awal dalam upaya menyiapakan grand desain yang akan kita siapkan ketika berbicara problem solving. Menampung seluruh kelemahan-kelemahan ataupun potensi segenap warga pergerakan merupakan upaya yang harus dilakukan, yang mempunyai arti keharusan kita melihat bagian-bagian dari setiap kader-kader di daerah baik yang lebih maju ataupun terbelakang dalamprogress gerakan ataupun progress akademik disetiap daerah sehinggga menghilangkan disparitas ( perbedaan ) yang sangat mencolok guna menghindari hilangnya kader-kader potensial daerah dikemudian hari.
Disadari atau tidak bahwa letak geografis dan kultur merupakan hambatan kita dalam membangun gerakan PMII yang progresif di kalimantan selatan, letak geografis dikatakan menjadi hambatan karena kalau kita mau jujur di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan sangat sulit menemukan magnet inspirasi perubahan, entah karena arus Informasi yang jauh, ataupun letak daerah yang sangat jauh dari beragam isu sehingga setiap kader kita seolah-olah buta terhadap perkembangan isu dan ini diperparah dengan sangat sulitnya akses terhadap wacana-wacana ilmiah.
Permasalahan selanjutnya kultur yang kadang tercipta atau boleh jadi sengaja diciptakan dalam regenerasi kepengurusan adalah upaya untuk tetap mempertahankan status quo tanpa melihat kapasitas dan kapabilitasnya ketika menduduki jabatan struktural tertinggi di PMII, imbasnya kita hanya berbicara persolan like and dislike tanpa ingin membangun bagaimana orientasi kedepan PMII di bawah vision pemimpin yang terbaik dari proses demokrasi.
Untuk menjawab itu maka di perlukan sebuah wadah untuk menciptakan kader-kader yang berkualitas, tentunya dengan membentuk pola pengkaderan yang berkaca pada realitas lokal, adapun langkah terkait dalam membangun pengkaderan dan harus segera diciptakan adalah :
A. Membangun landasan Sosio Kultural untuk Menerjemahkan Ideologi Akademik
Membangun landasan ini merupakan keharusan ketika kita menasbihkan diri sebagai gerakan mahasiswa karena dengan landasan ini akan terbangun sebuah proses dialektis yang purna guna peningkatan kualitas individu di internal PMII.
Salah satu upaya yang paling praktis dalam menyiapkan landasan ini adalah dengan membagun halaqah-halaqah baik itu namanya diskusi pinggiran atau Small Group discussion tetapi arah dari tujuannya membangun pola dan daya kritis di internal kader gerakan. Upaya selanjutnya yang harus segera dapat dilaksanakan adalah menggagas program kerja paling ideal disetiap tingkatan kepengurusan, guna mengasah pewacanaan setiap kader pergerakan.
Proses ini memang diciptakan dalam rangka penguatan SDM manusia PMII, dengan upaya ini diharapkan mampu menciptakan rangka gerakan yang sistemik guna memudahkan pemupukan wacana dan pada akhirnya membentuk konsep yang matang dan jelas. Pematangan wacana diharapakan mampu menciptakan model-model gerakan yang tidak hanya inovatif tetapi juga kontributif dalam “pembangunan” banua ( Kata ini dipilih karena merupakan orientasi gerakan PMII Kalimantan Selatan selama kepengurusan sahabat Fadli yang bisa kita lihat dari buku yang diterbitkana ataupun tema kegiatan-kegiatan PKC PMII Kalimantan Selatan ).
Tujuan dalam menyiapkan landasan ini agar mencegah disparitas ( perbedaan ) kualitas yang besar antara setiap cabang-cabang di daerah karena dengan upaya ini akan terbangun gerakan-gerakan yang dapat secara bersama-sama serentak membangun banua.
B. Membangun Laboratorium Sosial ( Kebutuhan Mendesak yang tidak dirasakan sebuah kebutuhan )
Ketika seseorang pemula ingin belajar/ berlatih memancing tentunya tidak hanya kail yang diberikan tetapi juga ditunjukkan tempat memancing, begitu pula dengan pola pelatihan yang memang seharusnya kita lakukan. Logikanya tidak akan berhasil suatu pelatihan atau tidak akan mengerti dan memahami teori seseorang tanpa disediakan tempat untuk mengejewantahkan hasil pelatihan atau teorinya tadi.
Beranjak dari kerangka berpikir diatas maka sudah menjadi kebutuhan kita ketika hampir separuh materi pelatihan di PMII adalah terkait dengan disiplin ilmu sosial, mulai dari ANSOS, Analisis wacana, pengorganisiran kampus ( dalam pelatihan yang lebih tinggi sering lebih di perluas ruang lingkupnya dengan sebutan pelatihan pengorganisiran komunitas ), dll. Semua teori yang berjibun dari pelatihan tadi tentunya tidak akan bisa mengkristal dalam pemikiran kader-kader yang dilatih, alih-alih untuk mampu mengaplikasikannya, karena hampir setiap pelatihan kader kita tidak mempunyai wadah untuk memberikan tempat bagi kader-kader dalam mengaplikasikan teori-teori hasil dari pelatihan tadi.
Disinilah kita rasakan betapa pentingnya wadah yang bernama laboraturium soisal, dan adanya wadah ini merupakan sebuah keharusan bagi setiap gerakan yang menamakan dirinya agent of social change. Berdirinya laboraturium sosial dalam sebuah organisasi menandakan bahwa organisasi itu berurat dan mengakar dimasyarakat akan tetapi sebaliknya ketika sebuah organisasi tidak memiliki wadah laboraturium sosial maka organisasi ini tidak pantas mengatakan suaranya adalah suara rakyat, karena kemampuanya hanyalah sebagai aktivis dagang sapi lalu apa yang bisa diharapkan dari orang atau organisasi semacam ini dan masihkah kita bisa mengatakan bahwa PMII adalah organisasi yang pro terhadap kaum proletar ?. Mungkin kita bisa menimbang sendiri sejauh mana eksistensi gerakan kita di masyarakat.
Suatu malam saya membayangkan dan bermimpi ketika PKL, tukang becak, kaum miskin kota, anak jalanan, anak-anak putus sekolah, meminta kita ( PMII ) sebagai corong mereka dalam menyalurkan aspirasi, keluh kesah, atau jerit tangis ketika tangan-tangan penguasa yang korup mulai menjamah kaisan rezeki mereka dengan regulasi-regulasi, aturan, dan kebijakan yang sangat tidak populis, disanalah PMII berjuang untuk meneriakan satu kata “ Lawan !” ( Perlawanan yang saya maksud tidak hanya dengan aksi turun kejalan seperti yang selama ini kita lakukan, akan tetapi dengan rangakaian strategi yang tersistematis baik melalui jalur hukum ketika itu berbicara aturan, mulai dari Counter legal drafting, sampai clash actionketika sudah mengarah kepada merugikan kelompok masyarakat, atau pendekatan-pendekatan persuasif yang lebih mengarah kepada pendekatan lobi. Alternatif-alternatif ini merupakan gambaran nyata dari makna perlawanan kita )
C. Menciptakan KUALITAS Materi dan Pemateri serta fasilitator Pengkaderan.
Tidak salah apabila ada pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” atau “ Buah itu tidak jauh jatuh dari pangkal Pohonnya” ini memberikan pengertian bahwa output dari proses pengkaderan yang sekarang menjadi kader-kader PMII merupakan hasil dari apa yang kita materikan atau minimal hasil dari sang kreator pemilih materi ataupun pemateri pada setiap pengkaderan ( Biasa disebut SC dalam setiap kegiatan ) baik formal ataupun non-formal. Harapan saya disini jangan sampai ketika kita berbicara substansi pengkaderan hendaklah dikesampingkan dulu permasalahan konflik of interest ( Kepentingan ), ataupun klise-klise individu sehingga yang betul-betul kita pilih adalah orang yang kualifait dalam membawakan materi.
Kualitas pengkaderan sendiri dapat dilihat dari sistem atau metode yang disampaikan pada setiap materi yang diadakan, andaikan kita tidak mampu dengan baik membaca indikator-indikator capaian dalam setiap materi maka wajar jika outputnya pun sangat sembarangan. Persoalan yang mengemuka dalam setiap kita mengadakan pelatihan-pelatihan pengkaderan adalah kita selalu membaca kegiatan adalah terkait masalah teknis an sich, tentang utang yang masih menunggak, kelebihan uang dan kemudian bagaimana membagi-bagikan dan hampir tidak pernah kita berbicara koreksi materi atau strategi follow up pasca kegiatan dan ketika ada yang berbicara ini seolah-olah orang ini menyampaikan ide langit lalu pertanyaanya, kemana substansi kegiatan ?.
Dalam setiap materi pengkaderan yang paling penting adalah menghilangkan watak show of face dalam prosesual di setiap kegiatan PMII, artinya watak yang senang ngomong dalam setiap kegiatan betul-betul sangat dihindari karena sangat mungkin menghilangkan potensi kader yang lain dan kadang mendominasi ( keterlibatan senior. Red ) sehingga menghilangkan eksistensi job-job sahabat yang lain dalam setiap kegiatan. Ini menjadi dilema bagi setiap pengurus mungkin bisa menjadi sangat efektif karena tenaganya dapat diandalkan akan tetapi disisi lain karakter seperti ini memungkinkan menghancurkan manajemen organisasi secara keseluruhan tanpa kita sadari, dan apabila manajemen ini rusak imbas yang sangat parah akan terputus kaderisasi kemampuan secara keseluruhan, pada akhirnya kita akan sulit mencari kader yang dapat diletakkan sesuai kemampuannya.
Kemudian, target yang paling strategis adalah kita harus menciptakan Fasililitator-fasilitator yang kualifait untuk membawakan materi-materi pengkaderan sebagai upaya awal kita dalam konteks penguatan lembaga secar internal. Sungguh ironis apabila kita masih melibatkan alumni-alumni karena alasan tidak ada yang mampu membawakan materi semacam Analisis Sosial atau analisi wacana yang menandakan bahwa PMII tidak memilki orang yang betul-betul mampu dalam membaca permasalahan sosial, kalo sudah begini PMII kita hanya sebagai perahu tanpa nahkoda, dan kini hendak di bawa kemana?
Permasalahan-permasalahan yang ada semua terpulang dari sahabat-sahabat dan sahabat-sahabat sendirilah yang paling mengerti dengan penyakit kronis yang deritanya artinya pembacaan kita harus disesuaikan dengan kebutuhan- kebutuhan di masing-masing daerah.
PENUTUP
Masalah yang ada di dalam tubuh PMII KALSEL merupakan bacaan yang selalu membutuhkan daya ijtihad tinggi, persolan-persolan yang mengemuka tidak hanya mampu di baca dengan seabrek teori manjemen, teori organisasi, ataupun teori sosial saja akan tetapi lebih dari pada itu, di butuhkan kepekaan-kepekaan dalam membaca setiap fenomena-fenomena yang ada dalam konteks lokal.
Fenomana gerakan mahasiswa khususnya di wilayah kita Kalimantan Selatan mempunyai berbagai problema mendasar yang tentunya membutuhkan keinginan kuat tidak hanya dari individu saja melainkan kelompok. Kesadaran-kesadaran berupa sense of belonging dari mahasiswa sesuatu yang harus kita temukan, tentu semuanya bermuara dari investasi kita terhadap supremasi moral, gerakan moral merupakan hal yang harus di gerakan mulai sekarang dari diri kita dan selanjutnya masuk dalam ranah gerakan PMII
Penguatan gerakan wacana penting untuk segera di lakukan tetapi penguatan dalam konteks progress gerakan juga lebih penting, hal ini menjadi harapan kita bersama dan mari lakukan perubahan mulai sekarang, mulai dari proses demokratisasi yang berlangsung di tubuh PMII. Mari berubah........
Daftar Bacaan :
Hermawan, Eman “Politik Isu Tunggal, Jalan Buntu Gerakan Masyarakat sipil” , Yogyakarta, KLIK, 2002.
Hermawan, Eman, “Politik Membela yang benar, teori, kritik, dan nalar”,Yogyakarta, KLIK, 2001.
Abidin, Zainal dan saifudin Asmara, “Tiga Sekuntum Militer, Tehnokrat, dan Enterpreuner”, LP2J-PB PMII.
Purmawan Jui, Agus ” Saatnya Pemuda Bangkit”, THOWONK, 2006.
Wahid Hasanuddin, M, “ Menggerakkan Tradisi Menghidupkan Pergerakan”, Jakarta, m-library jakarta, 2008.
Huntington, Samuel, P “ The Clash of Civization and the Remaking Of World Order ”Yogyakarta, Qalam, 2003.
Curricullum Vitae
Nama : Muhammad Radini
Tempat/ Tanggal lahir : Pangkalanbun 24 September 1986
Alamat : Jl. Citrawati RT 24 No 15
Mobile Phone : 0819 5110611
PENDIDIKAN FORMAL
SDN TAMBARANGAN 1 1992 - 1998
MTsN TAPIN SELATAN 1998 - 2001
MAKN MARTAPURA 2001 - 2004
IAIN ANTASARI BANJARMASIN 2004 - Sekarang
PENGALAMAN ORGANISASI
2004 – 2005 SEKRETARIS LDK FAKULTAS SYARIAH
2004 – 2005 SEKRETARIS BIDANG AKSI DAN ADVOKASI BEM FAKULTAS SYARIAH KABINET EGALITERIAN
2005 – 2006 LEMBAGA PERS MAHASISWA ( LPM ) SUKMA IAIN ANTASARI BANJARMASIN
2005 – 2006 KETUA UMUM KOMISARIAT PMII IAIN ANTASARI BANJARMASIN
2005- 2007 KETUA UMUM DPD FORMASI KALIMANTAN SELATAN
2006 – 2008 KORDINATOOR BIDANG PENGKADERAN PKC PMII KALIMANTAN SELATAN
2005 KORDINATOR INVESTIGATOR KOMISI YUDISIAL
( SANKSI BORNEO - KY )
2005 TIM STRATEGI RAPERDA KETERBUKAAN DI BANJARMASIN ( Tranfarancy International Indonesia - SANKSI BORNEO )
2006 KORDINATOR DIVISI DATA DAN INFORMASI SAKU KEMANUSIAAN ( Kerjasama SANKSI BORNEO – DPD FORMASI KALSEL – MASYARAKAT, Himpunan Ketua RT se-Banjarmasin )
2008 KORDINATOR PEACE TECH ( VOULUNTER LK3/ WAHID INSTITUE/ PEACE TECH )
2008-2010 STAF KAJIAN DEMOKRASI LK3 BANJARMASIN.
2008-2009 MANAGER PROGRAM PENDIDIKAN POLITIK BERBASIS MEDIA MASA LOKAL ; Diseminasi Gerakan Block Politik Demokratik ( Kerjasama LK3 - KKJD KALSEL – DEMOS JAKARTA )
2009- 2011 KETUA UMUM KOMITE INDEPENDENT PEMANTAU PEMILU ( KIPP) WILAYAH KALIMANTAN SELATAN.